Kamis, 31 Oktober 2013

PELAYANAN PUBLIK

KATA PENGANTAR


Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan kekuatan dan kemampuan sehingga makalah ini bisa selesai tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas terstruktur  Mata Kuliah Pelayanan Publik.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam penyusunan makalah ini.

Penulis sadar makalah ini belum sempurna dan memerlukan berbagai perbaikan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat dibutuhkan.

Akhir kata, semoga  makalah  ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan semua pihak.



Jatinangor,   November  2010


Penulis,







DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah............................................................ 1
1.2  Tujuan Penulisan...................................................................... 2
1.3  Rumusan Masalah.................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN................................................................................ 3
2.1. Permasalahan Pelayanan Publik ......................................... 3
2.2. Pemecahan Masalah ............................................................... 5
2.3. Desentralisasi............................................................................. 8
2.4. Budaya melayani....................................................................... 8

BAB III KESIMPULAN................................................................................. 9
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 10




BAB I
PENDAHULUAN

1.1.        Latar Belakang Masalah
Pelayanan publik pada dasarnya menyangkut aspek kehidupan yang sangat luas. Dalam kehidupan bernegara, maka pemerintah memiliki fungsi memberikan berbagai pelayanan publik yang diperlukan oleh masyarakat, mulai dari pelayanan dalam bentuk pengaturan atau pun pelayanan-pelayanan lain dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang pendidikan, kesehatan, utlilitas, dan lainnya. Berbagai gerakan reformasi publik (public reform) yang dialami negara-negara maju pada awal tahun 1990-an banyak diilhami oleh tekanan masyarakat akan perlunya peningkatan kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah.
 Di Indonesia, upaya memperbaiki pelayanan sebenarnya juga telah sejak lama dilaksanakan oleh pemerintah, antara lain melalui Inpres No. 5 Tahun 1984 tentang Pedoman Penyederhanaan dan Pengendalian Perijinan di Bidang Usaha. Upaya ini dilanjutkan dengan Surat Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 81/1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum. Untuk lebih mendorong komitmen aparatur pemerintah terhadap peningkatan mutu pelayanan, maka telah diterbitkan pula Inpres No. 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat. Pada perkembangan terakhir telah diterbitkan pula Keputusan Menpan No. 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik.Oleh karena saya membuat makalah ini dengan judul “Opini Publik tenteng Kinerja Pelayanan Publik” ,dan diharapkan agar kita lebih memahami tentang kinerja pelatan publik itu sendiri.



1.2.    Tujuan Penulisan
            Berdasarkan latar belakang di atas, penulis memiliki tujuan sebagai berikut.
         1.   Mengetahui kinerja birokrat dan kebijakan pelayanan publik dalam  pemerintah apakah sudah memenuhi standar.
         2.   Mengetahui tentang paradigma pelayanan publik.
         3.   Mengetahui tentang perubahan kualitas pelayanan publik pemerintah daerah.

1.3.        Rumusan Masalah
               Penulis mengambil masalah ini dengan rumusan masalah sebagai berikut.
1.    Bagaimana peranan dan kebijakan pelayanan publik dalam desentralisasi pemerintah daerah?
2.    Bagaimanakah paradigma pelayanan publik pemerintah daerah?
3.    Bagaimanakah kualitas pelayanan publik pemerintah daerah?  















BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Permasalahan Pelayanan Publik
Permasalahan utama pelayanan publik pada dasarnya adalah berkaitan dengan peningkatan kualitas pelayanan itu sendiri. Pelayanan yang berkualitas sangat tergantung pada berbagai aspek, yaitu bagaimana pola penyelenggaraannya (tata laksana), dukungan sumber daya manusia, dan kelembagaan.
Dilihat dari sisi pola penyelenggaraannya, pelayanan publik masih memiliki berbagai kelemahan antara lain:
a.    Kurang responsif. Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur pelayanan, mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front line) sampai dengan tingkatan penanggungjawab instansi. Respon terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan diabaikan sama sekali.
b.    Kurang informatif. Berbagai informasi yang seharusnya disampaikan kepada masyarakat, lambat atau bahkan tidak sampai kepada masyarakat.
c.    Kurang accessible. Berbagai unit pelaksana pelayanan terletak jauh dari jangkauan masyarakat, sehingga menyulitkan bagi mereka yang memerlukan pelayanan tersebut.
d.    Kurang koordinasi. Berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan lainnya sangat kurang berkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan instansi pelayanan lain yang terkait.
e.    Birokratis. Pelayanan (khususnya pelayanan perijinan) pada umumnya dilakukan dengan melalui proses yang terdiri dari berbagai level, sehingga menyebabkan penyelesaian pelayanan yang terlalu lama. Dalam kaitan dengan penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinan staf pelayanan (front line staff) untuk dapat menyelesaikan masalah sangat kecil, dan dilain pihak kemungkinan masyarakat untuk bertemu dengan penanggungjawab pelayanan, dalam rangka menyelesaikan masalah yang terjadi ketika pelayanan diberikan, juga sangat sulit. Akibatnya, berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama untuk diselesaikan.
f.     Kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat. Pada umumnya aparat pelayanan kurang memiliki kemauan untuk mendengar keluhan/saran/ aspirasi dari masyarakat. Akibatnya, pelayanan dilaksanakan dengan apa adanya, tanpa ada perbaikan dari waktu ke waktu
g.    Inefisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya dalam pelayanan perijinan) seringkali tidak relevan dengan pelayanan yang diberikan.
Dilihat dari sisi sumber daya manusianya, kelemahan utamanya adalah berkaitan dengan profesionalisme, kompetensi, empathy dan etika. Berbagai pandangan juga setuju bahwa salah satu dari unsur yang perlu dipertimbangkan adalah masalah sistem kompensasi yang tepat.
Dilihat dari sisi kelembagaan, kelemahan utama terletak pada disain organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat, penuh dengan hirarki yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien.
Kualitas pelayanan publik yang kerap dikeluhkan masyarakat, dapat terjadi karena berbagai hal. Salah satu determinan internal adalah lemahnya sistem pengendalian manajemen pemerintahan. Seperti kita ketahui, pada jam-jam pelayanan publik, aparat kerap lalai dalam melayani masyarakat. Masalah berikutnya adalah ringannya konsekuensi dari kealpaan ini.
Habituasi dari kealpaan ini, berpotensi menciptakan set mental tertentu mengenai tanggung jawab pekerjaan di kepala setiap aparat. Set mental ini menjadi derivasi bagi budaya kerja, sebagian lembaga pemerintahan yang lazim datang terlambat, kualitas pelayanan minimalis, hingga mempersulit proses.
Selain itu, determinan internal lainnya adalah penempatan posisi (position building), yang dibangun secara horizontal antara aparat pemerintah dengan masyarakat. Paradigma posisi atasan-bawahan ini, menghasilkan suatu ketergantungan akut. Sebab, dalam persepsi masyarakat dan pemerintah itu sendiri, pemenuhan hak-hak masyarakat adalah pemberian dan bukan tanggung jawab.
Paradigma ini yang disebut budaya paternalistik, terkadang diinternalisasi aparat pemerintah dan masyarakat. Dengan demikian, pemerintah dengan mudah dapat mempermainkan wewenangnya dalam melayani masyarakat. Di sisi lain, masyarakat pun terjebak dalam posisi subordinat, dengan daya gugat yang lemah.
Subordinasi masyarakat dalam pelayanan publik, juga dipengaruhi politik pemerintahan yang tertutup. Dengan pendekatan ini, pemerintah menjadi sistem yang tidak responsif dalam mengakomodasi nilai-nilai dan kebutuhan dari masyarakat. Terjadi represi artifisial terhadap setiap aspirasi masyarakat.

2.2. Pemecahan Masalah
Tuntutan masyarakat pada era desentralisasi terhadap pelayanan publik yang berkualitas akan semakin menguat. Oleh karena itu, kredibilitas pemerintah sangat ditentukan oleh kemampuannya mengatasi berbagai permasalahan di atas sehingga mampu menyediakan pelayanan publik yang memuaskan masyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Dari sisi mikro, hal-hal yang dapat diajukan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
1.    Penetapan Standar Pelayanan.
Standar pelayanan memiliki arti yang sangat penting dalam pelayanan publik. Standar pelayanan merupakan suatu komitmen penyelenggara pelayanan untuk menyediakan pelayanan dengan suatu kualitas tertentu yang ditentukan atas dasar perpaduan harapan-harapan masyarakat dan kemampuan penyelenggara pelayanan. Penetapan standar pelayanan yang dilakukan melalui proses identifikasi jenis pelayanan, identifikasi pelanggan, identifikasi harapan pelanggan, perumusan visi dan misi pelayanan, analisis proses dan prosedur, sarana dan prasarana, waktu dan biaya pelayanan. Proses ini tidak hanya akan memberikan informasi mengenai standar pelayanan yang harus ditetapkan, tetapi juga informasi mengenai kelembagaan yang mampu mendukung terselenggaranya proses manajemen yang menghasilkan pelayanan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Informasi lain yang juga dihasilkan adalah informasi mengenai kuantitas dan kompetensi-kompetensi sumber daya manusia yang dibutuhkan serta distribusinya beban tugas pelayanan yang akan ditanganinya.
2.    Pengembangan Standard Operating Procedures (SOP).
Untuk memastikan bahwa proses pelayanan dapat berjalan secara konsisten diperlukan adanya Standard Operating Procedures. Dengan adanya SOP, maka proses pengolahan yang dilakukan secara internal dalam unit pelayanan dapat berjalan sesuai dengan acuan yang jelas, sehingga dapat berjalan secara konsisten.
3.    Pengembangan Survey Kepuasan Pelanggan.
Untuk menjaga kepuasan masyarakat, maka perlu dikembangkan suatu mekanisme penilaian kepuasan masyarakat atas pelayanan yang telah diberikan oleh penyelenggara pelayanan publik. Dalam konsep manajemen pelayanan, kepuasan pelanggan dapat dicapai apabila produk pelayanan yang diberikan oleh penyedia pelayanan memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat. Oleh karena itu, survey kepuasan pelanggan memiliki arti penting dalam upaya peningkatan pelayanan publik;
4.    Pengembangan Sistem Pengelolaan Pengaduan.
Pengaduan masyarakat merupakan satu sumber informasi bagi upaya-upaya pihak penyelenggara pelayanan untuk secara konsisten menjaga pelayanan yang dihasilkannya sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Oleh karena itu perlu didisain suatu sistem pengelolaan pengaduan yang secara dapat efektif dan efisien mengolah berbagai pengaduan masyarakat menjadi bahan masukan bagi perbaikan kualitas pelayanan; Sedangkan dari sisi makro, peningkatan kualitas pelayanan publik dapat dilakukan melalui pengembangan model-model pelayanan publik. Dalam hal-hal tertentu, memang terdapat pelayanan publik yang pengelolaannya dapat dilakukan secara private untuk menghasilkan kualitas yang baik. Beberapa model yang sudah banyak diperkenalkan antara lain: contracting out, dalam hal ini pelayanan publik dilaksanakan oleh swasta melalui suatu proses lelang, pemerintah memegang peran sebagai pengatur; franchising, dalam hal ini pemerintah menunjuk pihak swasta untuk dapat menyediakan pelayanan publik tertentu yang diikuti dengan price regularity untuk mengatur harga maksimum. Dalam banyak hal pemerintah juga dapat melakukan privatisasi.
Disamping itu, peningkatan kualitas pelayanan publik juga perlu didukung adanya restrukturisasi birokrasi, yang akan memangkas berbagai kompleksitas pelayanan publik menjadi lebih sederhana. Birokrasi yang kompleks menjadi ladang bagi tumbuhnya KKN dalam penyelenggaraan pelayanan.




2.3. Desentralisasi
Kasus - Kasus Federalisme yang Bertentangan dengan Desentralisasi
  • Di Kanada, pemerintah Federal dapat membatalkan Undang-Undang yang dibuat oleh pemerintah propinsi, dan bahkan menginstruksikan Letnan Gubernur untuk menundanya.
  • Konstitusi di bekas negara Uni Soviet menentukan bahwa satu-satunya yang berhak melakukan amandemen terhadap konstitusi adalah Pemerintah Pusat. Bahkan kekuasaan Pemerintah Pusat sangat besar dibandingkan dengan yang dimiliki atau yang menjadi haknya pemerintah Negara Bagian di negara itu.

2.4. Budaya melayani
Untuk mereduksi "budaya pelayanan minimalis" tersebut, sistem pengendalian SDM yang lebih ketat mutlak diperlukan. Reformasi birokrasi bukan soal perbaikan sistem semata, tetapi perbaikan kompetensi dan akuntabilitas. Sedangkan antitesis bagi sifat paternalistik adalah dengan menempatkan fungsi pelayanan publik sebagai pemberdayaan, bukan pemberian. Paradigma baru ini terletak pada kalimat sederhana, putting people first, menjadikan kepuasan masyarakat sebagai prioritas utama.
Memprioritaskan masyarakat, berarti menyesuaikan standar pelayanan berdasarkan kebutuhan masyarakat. Politik pemerintah akan bermetamorfosis menjadi sistem birokrasi yang terbuka, dengan keberhasilan kinerja dievaluasi atas dasar harapan dan kepuasanmasyarakat.
Tantangan terpenting lain bagi kualitas layanan publik adalah menciptakan budaya pelayanan. Mereduksi paradigma hubungan horizontal, yang sudah mengakar merupakan proses perubahan substansial. Ia memerlukan perubahan set mental di kepala setiap aparatpemerintahan.


BAB III
KESIMPULAN

            Penerapan model demokrasi dalam sistem Pemerintahan Daerah yang sekarang diterapkan belum mencapai hasil yang diharapkan. Perilaku birokrasi dan kinerja Pemerintah Daerah belum dapat mewujudkan keinginan dan pilihan publik untuk memperoleh jasa pelayanan yang memuaskan untuk meningkatkan kesejahteraan.
            Upaya peningkatan kualitas pelayanan publik oleh Pemerintah Daerah dalam hal ini dapat dilakukan dengan berbagai strategi, diantaranya : perluasan institusional dan mekanisme pasar, penerapan manejemen publik modern, dan perluasan makna demokrasi.
            Upaya ini dapat terwujud apabila terdapat konsistensi dari sikap Pemerintah Daerah bahwa keberadaannya adalah semata-mata mewakili kepentingan masyarakat di daerahnya, otonomi adalah diberikan kepada masyarakat. Sehingga keberadannya harus memberikan pelayanan yang berkualitas untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang memiliki otonomi tersebut. Perangkat birokrasi yang ada baru dapat memberikan pelayanan publik yang berkualitas apabila kinerjanya selalu didasarkan pada nilai-nilai etika pelayanan publik. Kualitas pelayanan publik secara umum ditentukan oleh beberapa aspek, yaitu : sistem, kelembagaan, sumber daya manusia, dan keuangan. Dalam hal ini pemerintah harus benar-benar memenuhi keempat aspek tersebut, karena dengan begitu, masyarakat akan ikut berpartisipasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.







DAFTAR PUSTAKA


Dwiyanto, Agus. 2003. Reformasi Pelayanan Publik: Apa yang harus dilakukan?, Policy Brief. Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM.

Atep Adya Brata. 2003. Dasar-dasar Pelayanan Prima. Jakarta: Gramedia.

Lembaga Administrasi Negara. 2003. Jakarta: Penyusunan Standar Pelayanan Publik. LAN.

ADMINISTRASI KEUANGAN DAERAH



KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa terpanjatkan ke Hadirat-Nya, atas berkat, rahmat, dan bimbingan-Nya, penulis telah dapat menyelesaikan Tugas ini.
Penulis menyadari bahwa selama dalam penyusunan tugas ini penulis banyak mendapatkan bantuan dan dorongan baik moril maupun materil dari berbagai pihak, semoga Tuhan melipat gandakan kebaikannya. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya dan sekaligus penghargaan kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya tugas ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tugas masih banyak kekurangan baik dari segi cara penulisan maupun materi kajiannya. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik ataupun masukan yang bersifat membangun untuk perbaikan tugas kedepan.
Akhir kata, semoga  tugas ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan semua pihak dan semoga Allah SWT senantiasa memberikan petunjuk, ilmu yang bermanfaat, serta ridha-Nya kepada kita. Amin Ya Rabbal ‘aalamin.


Bandung,   September 2010



Penulis





DAFTAR ISI

          Halaman
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1.        Latar Belakang ...................................................................... 1
1.2.        Perumusan Masalah ........................................................... 2
1.3.        Tujuan Penulisan ................................................................ 3

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... 4
2.1.   Pengertian Keuangan Daerah.............................................. 4
2.1.1. Sistem Informasi Keuangan Daerah ....................... 5
2.2.   Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)....... 6
2.2.1. Fungsi-Fungsi Anggaran Daerah.............................. 7
2.2.2. Prinsip-Prinsip Anggaran Daerah.............................. 8
2.2.3   Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja
            Daerah........................................................................... 9
2.3.   Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja
         Daerah (APBD)........................................................................ 10
2.3.1.  Tahap Persiapan dan Penyusunan Anggaran
            (Budget Preparation).................................................... 10
2.3.2. Tahap Ratifikasi Anggaran......................................... 11
2.3.3. Tahap Pelaksanaa Anggaran (Budget
            Implementation)............................................................ 11
2.3.4. Tahap Pelaporan dan Evaluasi Anggaran.............. 12


2.4.   Pelaksanaan, Penatausahaan APBD................................. 13
2.4.1.  Pelaksanaan APBD..................................................... 13
2.4.2.  Penatausahaan Keuangan Daerah......................... 16
2.5.   Akuntansi Keuangan Daerah............................................... 17
2.6.   Pengelolaan dan Pertanggungjawaban  Keuangan
         Daerah ...................................................................................... 21
2.7.   Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi...... 21
2.7.1.  Penyelesaian Kerugian Daerah................................ 22
2.7.2.  Pengenaan Ganti Kerugian Negara/Daerah.......... 23
2.8.   Tata Cara Penyelesaian Kerugian Keuangan Daerah..... 24

BAB III KESIMPULAN................................................................................. 25

REFERENSI.................................................................................................. 26
A.   Buku ................................................................................................... 26
B.   Perundang-Undangan .................................................................... 27
C.   Internet ............................................................................................... 28













BAB I
PENDAHULUAN


1.1.        Latar Belakang
Indikasi keberhasilan otonomi daerah adalah adanya peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, kehidupan demokrasi yang semakin maju, keadilan, pemerataan, serta adanya hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah. Keadaan tersebut hanya akan tercapai apabila daerah dapat mengelola pemerintahannya dengan diantaranya adalah Administrasi Keuangan.  Sistem pengelolaan Keuangan yang baik akan memberikan manfaat pada efektivitas pelayanan public dengan pemberian pelayanan yang tepat sasaran, meningkatkan mutu pelayanan publik, biaya pelayanan yang murah karena hilangnya inefisiensi dan penghematan dalam penggunaan resources,  alokasi belanja yang lebih berorientasi pada kepentingan publik, dan meningkatkan public costs awareness sebagai akar pelaksanaan pertanggung jawaban publik.
Pemberian otonomi yang luas dan desentralisasi yang sekarang ini dinikmati pemeirntah daerah Kabupaten dan Kota, memberikan jalan bagi pemerintah daerah untuk melakukan pembaharuan dalam sistem pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Kemunculan UU No. 22 dan 25 tahun 1999 telah melahirkan paradigma baru dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Dalam pengelolaan keuangan daerah, paradigma baru tersebut berupa tuntutan untuk melakukan pengelolaan keuangan daerah yang berorientasi pada kepentingan publik (public oriented). Hal tersebut meliputi tuntutan kepada pemerintah daerah untuk membuat laporan keuangan dan transparansi informasi anggaran kepada publik.
1.2.        Perumusan Masalah
Belajar dari pengalaman internasional, pelaksanaan otonomi daerah tidak selalu harus dibiayai oleh pendapatan yang berasal dari daerah itu sendiri. Namun, secara pasti dapat dikatakan bahwa apabila semakin maju industri suatu negara maka pelaksanaan demokrasi akan semakin baik. Penyelenggaraan pemerintahan yang semakin demokratis akan tercermin dalam pelaksanaan otonomi daerah yang semakin besar. Pelaksanaan otonomi yang semakin besar tersebut dari aspek keuangan tercermin dari expenditure ratio yang cenderung semakin besar. Dengan demikian, keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dalam suatu negara tidak selalu harus diukur dari besarnya peranan PAD untuk membiayai seluruh aktivitas pemerintahan daerah.
Sejalan dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal, kebijakan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD) juga perlu diatur dengan Undang-undang sesuai dengan amanat UUD 1945. Untuk menghindari high cost economy, telah diterbitkan UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang PDRD, kemudian sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, telah direvisi dengan UU Nomor 34 Tahun 2000 tentag PDRD. Prinsip-prinsip yang dianut dalam UU 34/2000 bukan berarti dimaksudkan untuk menghambat pelaksanaan otonomi daerah tetapi implementasi sistem perpajakan dan retribusi yang baik dan bersifat universal.
Sesuai dengan UU 25/1999, perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah dilakukan melalui Dana Perimbangan (DP) yang terdiri dari:
a)    Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Penghasilan (PPh) Perseorangan, dan Sumber Daya Alam (SDA);
b)    Dana Alokasi Umum (DAU);
c)    Dana Alokasi Khusus(DAK).
Pelaksanaan otonomi Daerah secara efektif telah dimulai sejak Januari 2001. Dari sisi keuangan negara hal tersebut telah membawa konsekuensi kepada perubahan peta pengelolaan fiskal yang cukup mendasar. Sebagaimana diketahui dalam APBN tahun 2001, total dana yang didaerahkan melalui Dana Perimbangan (DP) adalah sebesar Rp81,67 triliun.
Pembayaran tunggakan pinjaman Pemda dan BUMD pada dasarnya merupakan kewajiban daerah sebagai pihak yang memperoleh manfaat dari pinjaman tersebut.

1.3.        Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1.    Menjelaskan pengertian administrasi keuangan daerah, hubungan keuangan daerah dengan keuangan pusat, serta pengurusan keuangan daerah
2.    Menjelaskan pengertian APBD, fungsi dan prinsip anggaran daerah, struktur APBD, sumber-sumber penerimaan daerah, belanja daerah, serta pembiayaan daerah
3.    Memahami siklus anggaran, khususnya proses penyusunan APBD, mulai dari penyusunan rancangan hingga penetapan APBD
4.    Memahami proses pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban APBD
5.    Menjelaskan pengertian penggantian kerugian daerah.


BAB II
PEMBAHASAN


2.1. Pengertian Keuangan Daerah
Pengertian keuangan daerah sebagaimana dimuat dalam penjelasan pasal 156 ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah sebagai berikut :
 Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.
Menurut UU No. 17 tahun 2003 Keuangan Daerah/Negara adalah semua dan kewajiban Daerah/Negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapay dijadikan milik negara/daerah berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Adapun ruang lingkup keuangan daerah meliputi:
1.    hak daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah serta melakukan pinjaman;
2.    kewajiban daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah dan membayar tagihan pihak ketiga;
3.    penerimaan daerah;
4.    pengeluaran daerah;
5.     kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan daerah; dan
6.    kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah daerah dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan daerah dan/atau kepentingan umum. Rangka

2.1.1. Sistem Informasi Keuangan Daerah
Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) adalah suatu fasilitas yang diselenggarakan oleh Menteri Keuangan untuk mengumpulkan, melakukan validasi, mengolah, menganalisis data, dan menyediakan informasi keuangan daerah dalam rangka merumuskan kebijakan dalam pembagian dana perimbangan, evaluasi kinerja keuangan daerah, penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) serta memenuhi kebutuhan lain, seperti statistik keuangan negara.
SIKD ini diselenggarakan oleh pemerintah pusat. Sumber infor­masi bagi sistem informasi keuangan daerah terutama adalah laporan informasi APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) UU Nomor 25 Tahun 1999, yaitu: informasi mengenai pengelolaan ke­uangan daerah dan informasi mengenai kinerja keuangan daerah dari segi efisiensi dan efektivitas keuangan dalam rangka desentralisasi.
Tujuan penyelenggaraan SIKD adalah:
a.     membantu Menteri Keuangan dalam merumuskan kebijakan keuangan daerah;
b.     membantu menyediakan data dan informasi kepada Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (PKPD) pacla Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah;
c.     membantu Menteri Keuangan dan instansi terkait IainnYa dalam melakukan evaluasi kinerja keuangan daerah, penyusunan RAPBN, dan kebutuhan lain seperti statistik keuangan negara;


d.     membantu pemerintah daerah dalam menetapkan kebijakar keuangan dan menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dar Belanja Daerah (RAPBD), pemerintahan, dan pembangunan di Daerah.

2.2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah selanjutnya disingkat APBD adalah suatu rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU No. 17 Tahun 2003 pasal 1 butir 8 tentang Keuangan Negara). Semua Penerimaan Daerah dan Pengeluaran Daerah harus dicatat dan dikelola dalam APBD. Penerimaan dan pengeluaran daerah tersebut adalah dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas desentralisasi.
Sedangkan penerimaan dan pengeluaran yang berkaitan dengan pelaksanaan Dekonsentrasi atau Tugas Pembantuan tidak dicatat dalam APBD. APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam satu tahun anggaran. APBD merupakan rencana pelaksanaan semua Pendapatan Daerah dan semua Belanja Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi dalam tahun anggaran tertentu. Pemungutan semua penerimaan Daerah bertujuan untuk memenuhi target yang ditetapkan dalam APBD. Demikian pula semua pengeluaran daerah dan ikatan yang membebani daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dilakukan sesuai jumlah dan sasaran yang ditetapkan dalam APBD. Karena APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah, maka APBD menjadi dasar pula bagi kegiatan pengendalian, pemeriksaan dan pengawasan keuangan daerah.



2.2.1. Fungsi-Fungsi Anggaran Daerah
Berbagai fungsi APBN/APBD sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (4) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yaitu :
1.    Fungsi Otorisasi
Anggaran daerah merupakan dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan.
2.    Fungsi Perencanaan
Anggaran daerah merupakan pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
3.    Fungsi Pengawasan
Anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
4.    Fungsi Alokasi
Anggaran daerah diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian.
5.    Fungsi Distribusi
Anggaran daerah harus mengandung arti/ memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan
6.    Fungsi Stabilisasi
Anggaran daerah harus mengandung arti/ harus menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian.





2.2.2. Prinsip-Prinsip Anggaran Daerah
Prinsip-prinsip dasar (azas) yang berlaku di bidang pengelolaan Anggaran Daerah yang berlaku juga dalam pengelolaan Anggaran Negara / Daerah sebagaimana bunyi penjelasan dalam Undang Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yaitu :
1. Kesatuan
Azas ini menghendaki agar semua Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah disajikan dalam satu dokumen anggaran.
2. Universalitas
Azas ini mengharuskan agar setiap transaksi keuangan ditampilkan secara utuh dalam dokumen anggaran.
3. Tahunan
Azas ini membatasi masa berlakunya anggaran untuk suatu tahun tertentu
4. Spesialitas
Azas ini mewajibkan agar kredit anggaran yang disediakan terinci secara jelas peruntukannya.
5. Akrual
Azas ini menghendaki anggaran suatu tahun anggaran dibebani untuk pengeluaran yang seharusnya dibayar, atau menguntungkan anggaran untuk penerimaan yang seharusnya diterima, walaupun sebenarnya belum dibayar atau belum diterima pada kas
6. Kas
Azas ini menghendaki anggaran suatu tahun anggaran dibebani pada saat terjadi pengeluaran/ penerimaan uang dari/ ke Kas Daerah Ketentuan mengenai pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 13, 14, 15 dan 16 dalam UU Nomor 17 Tahun 2003, dilaksanakan selambatlambatnya dalam 5 (lima) tahun. Selama pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual belum dilaksanakan, digunakan pengakuan dan pengukuran berbasis kas.

2.2.3 Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari:
1. Pendapatan Daerah
Pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang melalui Rekening Kas Umum Daerah, yang menambah ekuitas dana lancar, yang merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh Daerah.
Pendapatan daerah terdiri atas:
a. Pendapatan Asli Daerah (PAD);
b. Dana Perimbangan; dan
c. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Pendapatan daerah, selain PAD dan Dana Perimbangan, adalah Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah yang meliputi hibah, dana darurat, dan lain-lain pendapatan yang ditetapkan oleh pemerintah. Hibah yang merupakan bagian dari Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah merupakan bantuan berupa uang, barang, dan/atau jasa yang berasal dari pemerintah, masyarakat, dan badan usaha dalam negeri atau luar negeri yang tidak mengikat.

2. Belanja Daerah
Komponen berikutnya dari APBD adalah Belanja Daerah. Belanja daerah meliputi semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Daerah yang mengurangi ekuitas dana lancar, yang merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh Daerah. Belanja daerah dipergunakan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan.
Belanja daerah diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program dan kegiatan, serta jenis belanja. Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan organisasi pemerintahan daerah.

2.3. Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran terhitung mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah. Dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, pemerintah melaksanakan kegiatan keuangan dalam siklus pengelolaan anggaran.
Pada dasarnya, siklus anggaran terdiri atas empat tahap, yaitu:
1.    Tahap persiapan dan penyusunan anggaran;
2.    Tahap ratifikasi;
3.    Tahap implementasi; dan
4.    Tahap pelaporan dan evaluasi.

2.3.1. Tahap Persiapan dan Penyusunan Anggaran (Budget Preparation)
            Pada tahap persiapan dan penysuunan anggaran dilakukan taksiran pengeluaran atas dasar taksiran pendapatan yang tersedia. Terkait dengan masalah tersebut, yang perlu diperhatikan adalah sebelum menyetujui taksiran pengeluaran, hendaknya terlebih dahulku dilakukan penaksiran pendapatan secara lebih akurat. Selain itu, harus disadari adanya masalah yang cukup berbahaya jika anggaran pendapatan diestimasi pada saat bersamaan dengan pembuatan keputusan tentang anggaran pengeluaran.
            Dalam persoalan estimasi, yang perlu mendapat perhatian adalah terdapatnya faktor “uncertainty” (tingkat ketidakpastian) yang cukup tinggi. Oleh sebab itu manajer keuangan publik harus memahami betul dalam menentukan besarnya suatu mata anggaran. Besarnya suatu mata anggaran sangat tergantung pada teknik dan sistem anggaran yang digunakan. Besarnya mata anggaran pada suatu anggaran yang menggunakan “line-item budgeting”. Akan berbeda pada “performance budgeting”, “input-output budgeting”, “program budgeting”, atau “zero based budgeting”.

2.3.2. Tahap Ratifikasi Anggaran
            Tahap berikutnya, adalah budget ratification. Tahap ini merupakan tahap yang melibatkan proses politik yang cukup rumit dan cukup berat. Pimpinan eksekutif (kepala daerah) dituntut tidak hanya memiliki “managerial skill” namun juga harus mempunyai “political skill”, “salesmanship”, dan “coalition building” yang memadai, integritas dan kesiapan mental yang tinggi dan eksekutif sangat penting dalam tahap ini. Hal tersebut penting karena dalam tahap ini pimpinan eksekutif harus mempunyai kemampuan untuk menjawab dan memberikan argumentasi yang rasional atas segala pertanyaan-pertanyaan dan bantahan-bantahan dari pihak legislatif.

2.3.3. Tahap Pelaksanaa Anggaran (Budget Implementation)
            Setelah anggaran disetujui oleh legislatif, tahap berikutnya adalah pelaksanaan anggaran. Dalam tahap ini, hal terpenting yang harus diperhatikan oleh manajer keuangan publik adalah dimilikinya sistem (informasi) akuntansi dan sistem pengendalian manajemen. Manajer keuangan publik dalam hal ini bertanggung jawab untuk menciptakan sistem akuntansi yang memadai dan handal untuk perencanaan dan pengendalian anggaran yang telah disepakati, dan bahkan dapat diandalkan untuk tahap penyusunan anggaran periode berikutnya. Sistem akuntansi yang digunakan hendaknya juga mendukung pengendalian anggaran.

2.3.4. Tahap Pelaporan dan Evaluasi Anggaran
            Tahap terakhir dari siklus anggaran asalah pelaporan dan evaluasi anggaran. Tahap persiapan, ratifikasi, dan implementasi anggaran terkait dengan aspek operasional anggaran, sedangkan tahap pelaporan dan evaluasi terkait dengan aspek akuntabilitas. Apabila pada tahap implementasi telah didukung dengan sistem akuntansi dan sistem pengendalian manajemen yang baik, maka pada tahap pelaporan dan evaluasi anggaran biasanya tidak akan menemui banyak masalah.
Penyusunan APBD berpedoman kepada Rencana Kerja Pemerintah Daerah dalam rangka mewujudkan pelayanan kepada masyarakat untuk tercapainya tujuan bernegara. APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD ditetapkan setiap tahun dengan peraturan daerah. Dalam menyusun APBD, penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian atas tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup. Pendapatan, belanja dan pembiayaan daerah Pada akhir pemelajaran ini peserta dapat memahami siklus anggaran, khususnya proses penyusunan APBD, mulai dari penyusunan rancangan hingga penetapan APBD.
Pemerintah Daerah perlu menyusun APBD untuk menjamin kecukupan dana dalam menyelenggarakan urusan pemerintahannya. Karena itu, perlu diperhatikan kesesuaian antara kewenangan pemerintahan dan sumber pendanaannya. Pengaturan kesesuaian kewenangan dengan pendanaannya adalah sebagai berikut:
1.    Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah didanai dari dan atas beban APBD.
2.    Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat di daerah didanai dari dan atas beban APBN.
3.    Penyelenggaraan urusan pemerintahan provinsi yang penugasannya dilimpahkan kepada kabupaten/kota dan/atau desa, didanai dari dan atas beban APBD provinsi.
4.    Penyelenggaraan urusan pemerintahan kabupaten/kota yang penugasannya dilimpahkan kepada desa, didanai dari dan atas beban APBD kabupaten/kota.

Seluruh penerimaan dan pengeluaran pemerintahan daerah baik dalam bentuk uang, barang dan/atau jasa pada tahun anggaran yang berkenaan harus dianggarkan dalam APBD. Penganggaran penerimaan dan pengeluaran APBD harus memiliki dasar hukum penganggaran. Anggaran belanja daerah diprioritaskan untuk melaksanakan kewajiban pemerintahan daerah sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

2.4. Pelaksanaan, Penatausahaan APBD
2.4.1. Pelaksanaan APBD
Semua penerimaan daerah dan pengeluaran daerah dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan daerah dikelola dalam APBD.
Pelaksanaan APBD meliputi pelaksanaan anggaran pendapatan, belanja, dan pembiayaan. Penjelasan berikut ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Pengeluaran dapat dilakukan jika dalam keadaan darurat, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBD dan/atau disampaikan dalam laporan realisasi anggaran. Kriteria keadaan darurat ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pelaksanaan Anggaran oleh Kepala SKPD dilaksanakan setelah Dokumen Pelaksanaan Anggaran SKPD (DPA-SKPD) ditetapkan oleh PPKD dengan persetujuan Sekretaris Daerah. Proses penetapan DPA-SKPD adalah sebagai berikut. APBD ditetapkan, memberitahukan kepada semua kepala SKPD agar menyusun rancangan DPA-SKPD.
Setiap SKPD yang mempunyai tugas memungut dan/atau menerima pendapatan daerah wajib melaksanakan pemungutan dan/atau penerimaan berdasarkan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Penerimaan SKPD dilarang digunakan langsung untuk membiayai pengeluaran, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan. Penerimaan SKPD berupa uang atau cek harus disetor ke rekening kas umum daerah paling lama 1(satu) hari kerja oleh Bendahara Penerimaan dengan didukung oleh bukti yang lengkap.
Semua penerimaan daerah dilakukan melalui rekening kas umum daerah. SKPD dilarang melakukan pungutan selain dari yang ditetapkan dalam peraturan daerah. SKPD yang mempunyai tugas memungut dan/atau menerima dan/atau kegiatannya berdampak pada penerimaan daerah wajib mengintensifkan pemungutan dan penerimaan tersebut.
Semua penerimaan daerah apabila berbentuk uang harus segera disetor ke kas umum daerah dan berbentuk barang menjadi milik/asset daerah yang dicatat sebagai inventaris daerah. Pengembalian atas kelebihan pajak, retribusi, pengembalian tuntutan ganti rugi dan sejenisnya dilakukan dengan membebankan pada rekening penerimaan yang bersangkutan untuk pengembalian penerimaan yang terjadi dalam tahun yang sama. Untuk pengembalian kelebihan penerimaan yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya dibebankan pada rekening belanja tidak terduga. Jumlah belanja yang dianggarkan dalam APBD merupakan batas tertinggi untuk setiap pengeluaran belanja. Pengeluaran tidak dapat dibebankan pada anggaran belanja jika untuk pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dalam APBD. Setiap SKPD dilarang melakukan pengeluaran atas beban anggaran daerah untuk tujuan lain dari yang telah ditetapkan dalam APBD. Pengeluaran belanja daerah menggunakan prinsip hemat, tidak mewah, efektif, efisien dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Setiap pengeluaran harus didukung oleh bukti yang lengkap dan sah mengenai hak yang diperoleh oleh pihak yang menagih. Pengeluaran kas  yang mengakibatkan beban APBD tidak dapat dilakukan sebelum rancangan peraturan daerah tentang APBD ditetapkan dan ditempatkan dalam lembaran daerah. Pengeluaran kas tersebut tidak termasuk belanja yang bersifat mengikat dan belanja yang bersifat wajib.
Pembayaran atas beban APBD dapat dilakukan berdasarkan Surat Penyediaan Dana (SPD), atau Dokumen Pelaksanaan Anggaran SKPD (DPA-SKPD), atau dokumen lain yang dipersamakan dengan SPD. Khusus untuk biaya pegawai diatur bahwa gaji pegawai negeri sipil daerah dibebankan dalam APBD. Pemerintah daerah dapat memberikan tambahan penghasilan kepada pegawai negeri sipil daerah berdasarkan pertimbangan yang obyektif dengan memperhatikan kemampuan keuangan daerah dan memperoleh persetujuan DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pengelolaan anggaran pembiayaan daerah dilakukan oleh Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD). Semua penerimaan dan pengeluaraan pembiayaan daerah dilakukan melalui Rekening Kas Umum Daerah.
Untuk pencairan dana cadangan, pemindahbukuan dari rekening dana cadangan ke Rekening Kas Umum Daerah dilakukan berdasarkan rencana pelaksanaan kegiatan, setelah jumlah dana cadangan yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang pembentukan dana cadangan yang berkenaan mencukupi. Pemindahbukuan tersebut paling tinggi sejumlah pagu dana cadangan yang akan digunakan untuk mendanai pelaksanaan kegiatan dalam tahun anggaran berkenaan sesuai dengan yang ditetapkan dalam peraturan daerah tentang pembentukan dana cadangan. Pemindahbukuan dari rekening dana cadangan ke rekening kas umum daerah tersebut dilakukan dengan surat perintah pemindahbukuan oleh kuasa BUD atas persetujuan PPKD.
Penjualan kekayaan milik daerah yang dipisahkan dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Pencatatan penerimaan atas penjualan kekayaan daerah didasarkan pada bukti penerimaan yang sah. Penerimaan pinjaman daerah didasarkan pada jumlah pinjaman yang akan diterima dalam tahun anggaran yang bersangkutan sesuai dengan yang ditetapkan dalam perjanjian pinjaman berkenaan. Penerimaan pinjaman dalam bentuk mata uang asing dibukukan dalam nilai rupiah. Penerimaan kembali pemberian pinjaman daerah didasarkan pada perjanjian pemberian pinjaman daerah sebelumnya, untuk kesesuaian pengembalian pokok pinjaman dan kewajiban lainnya yang menjadi tanggungan pihak peminjam.
Pelaksanaan pengeluaran pembiayaan mencakup pelaksanaan pembentukan dana cadangan, penyertaan modal, pembayaran pokok utang, dan pemberian pinjaman daerah. Jumlah pendapatan daerah yang disisihkan untuk pembentukan dana cadangan dalam tahun anggaran bersangkutan sesuai dengan jumlah yang ditetapkan dalam peraturan daerah. Pemindahbukuan jumlah pendapatan daerah yang disisihkan yang ditransfer dari rekening kas umum daerah ke rekening dana cadangan dilakukan dengan surat perintah pemindahbukuan oleh kuasa BUD atas persetujuan PPKD.

2.4.2. Penatausahaan Keuangan Daerah
Pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran, bendahara penerimaan, bendahara pengeluaran dan orang atau badan yang menerima atau menguasai uang/barang/kekayaan daerah wajib menyelenggarakan penatausahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Penerimaan daerah disetor ke rekening kas umum daerah pada bank pemerintah yang ditunjuk dan dianggap sah setelah kuasa BUD menerima nota kredit.
Bendahara penerimaan wajib menyelenggarakan penatausahaan terhadap seluruh penerimaan dan penyetoran atas penerimaan yang menjadi tanggung jawabnya. Bendahara penerimaan pada SKPD wajib mempertanggungjawabkan secara administratif atas pengelolaan uang yang menjadi tanggung jawabnya dengan menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan kepada pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran melalui PPK-SKPD paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. Disamping pertanggungjawaban secara administratif, Bendahara penerimaan pada SKPD wajib mempertanggung jawabkan secara fungsional atas pengelolaan uang yang menjadi tanggung jawabnya dengan menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan kepada PPKD selaku BUD paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.

2.5.  Akuntansi Keuangan Daerah
Pelaksanaan otonomi daerah yang mendukung efisiensi penggunaan keuangan negara dapat dilihat dari sisi pelaksanaan fungsi pelayanan pemerintahan yang bersifat lokal. Sebelum otonomi daerah dilaksanakan, fungsi pemerintahan yang bersifat lokal (seperti pembangunan prasarana yang manfaatnya hanya bersifat lokal) sering dikelola oleh instansi Pusat. Hal ini sering memberikan dampak biaya yang relatif lebih besar daripada apabila fungsi tersebut dilaksanakan oleh Pemda.
Konsep good governance di bidang dana perimbangan sebagaimana diatur melalui PP Nomor 104 Tahun 2000 paling tidak dapat dilihat dalam proses pengambilan keputusannya. Perumusan alokasi dana perimbangan telah melibatkan pihak universitas/pakar, kemudian sebelum ditetapkan dengan Keppres, setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari DPOD yang mayoritas anggotanya berasal dari Pemda. Kemudian selanjutnya produk dari keputusan tersebut dapat diketahui semua lapisan masyarakat.
Implementasi prinsip-prinsip good governance pengelolaan keuangan daerah dalam kaitannya dengan kebijakan desentralisasi fiskal telah diatur dalam PP 105/2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah sebagai derivasi atau penjelasan lebih lajut dari UU 25/1999. PP tersebut telah mengatur secara tegas mengenai pengelolaan keuangan daerah, yaitu :
      Pengaturan : Pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah, sedangkan mengenai sistem dan prosedurnya (penatausahaan) diatur dengan peraturan kepala daerah;
      Perencanaan : Penganggaran berdasarkan pendekatan kinerja. Ke depan penganggaran harus diarahkan pada unified budget, sehingga tidak akan ada lagi dikhotomi antara anggaran rutin dan pembangunan yang selama ini sering tumpang tindih.
      Pelaksanaan : Penatausahaan berdasarkan standar akuntansi keuangan pemerintah daerah yang berlaku. Selama ini, pencatatan keuangan daerah bersifat pembukuan tunggal (single entry) dan berbasis kas (cash basis). Ke depan akan di arahkan pada pembukuan berpasangan (double entry) dan secara bertahap akan mengarah pada basis akrual (acrual basis).
      Pertanggungjawaban : Pertanggungjawaban keuangan kepala daerah terdiri dari Perhitungan APBD, Nota Perhitungan APBD, Laporan Aliran Kas, dan Neraca.




Selanjutnya PP 11/2001 tentang Informasi Keuangan Daerah yang merupakan produk hukum lain yang diamanatkan oleh UU 25/1999, menyatakan perlunya suatu sistem informasi keuangan daerah. Sebagai dokumen publik informasi tentang keuangan daerah dapat diketahui oleh masyarakat secara terbuka. Untuk memudahkan masyarakat mendapatkan informasi mengenai penggunaan dana yang diperoleh dari masyarakat melalui pajak dan retribusi, perlu adanya suatu sistem informasi keuangan daerah (SIKD). Melalui SIKD, informasi tidak lagi ditujukan hanya untuk konsumsi lokal dan nasional, tetapi sudah menjadi kebutuhan dan tuntutan internasional sebagaimana dijabarkan dalam Government Financial Statistics (GFS) yang dikeluarkan oleh International Monetary Fund (IMF) dimana Indonesia juga sebagai salah satu anggota
Untuk melakukan penyusunan laporan keuangan, Pemerintah daerah menyusun sistem akuntansi pemerintah daerah yang mengacu kepada standar akuntansi pemerintahan. Sistem akuntansi pemerintah daerah dilaksanakan oleh Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD) sebagai entitas pelaporan dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sebagai entitas akuntansi.
Sistem akuntansi pemerintahan daerah meliputi serangkaian prosedur mulai dari proses pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran, sampai dengan pelaporan keuangan dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD yang dapat dilakukan secara manual atau menggunakan aplikasi komputer. Proses tersebut didokumentasikan dalam bentuk buku jurnal dan buku besar, dan apabila diperlukan ditambah dengan buku besar pembantu.




Sistem akuntansi pemerintahan daerah sekurang-kurangnya meliputi:
1. prosedur akuntansi penerimaan kas;
2. prosedur akuntansi pengeluaran kas;
3. prosedur akuntansi aset tetap/barang milik daerah; dan
4. prosedur akuntansi selain kas.
Sistem akuntansi pemerintahan daerah disusun dengan berpedoman pada prinsip pengendalian intern sesuai dengan peraturan pemerintah yang mengatur tentang pengendalian internal dan peraturan pemerintah tentang standar akuntansi pemerintahan. Sistem akuntansi pemerintahan daerah dilaksanakan oleh PPKD. Sistem akuntansi SKPD dilaksanakan oleh PPKSKPD. PPK-SKPD mengkoordinasikan pelaksanaan sistem dan prosedur penatausahaan bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran.
Dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, entitas pelaporan menyusun laporan keuangan yang meliputi:
1. laporan realisasi anggaran;
2. neraca;
3. laporan arus kas; dan
4. catatan atas laporan keuangan.
Dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, entitas akuntansi menyusun laporan keuangan yang meliputi:
1. laporan realisasi anggaran;
2. neraca; dan
3. catatan atas laporan keuangan.





2.6. Pengelolaan dan Pertanggungjawaban  Keuangan Daerah
Pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara tertib, taat pa­da peraturan perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatutan. APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam tahun anggaran tertentu. Ketentuan ini berarti, bahwa APBD merupakan rencana pelaksanaan semua pendapatan daerah dan semua belanja daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dalam tahun anggaran tertentu. Dengan demikian, pemungutan semua penerimaan daerah dalam rangka pelaksanaan desentra­lisasi bertujuan untuk memenuhi target yang ditetapkan dalam APBD. Semua pengeluaran daerah dan ikatan yang membebani daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dilakukan se­suai jumlah dan sasaran yang ditetapkan dalam APBD, sehingga APBD menjadi dasar bagi kegiatan pengendalian, pemeriksaan dan pengawasan keuangan daerah.
Semua penerimaan daerah dan pengeluaran daerah dalam rangka desentralisasi dicatat dan dikelola dalam APBD. Semua penerimaan daerah dan pengeluaran daerah yang tidak berkait­an dengan pelaksanaan dekosentrasi atau tugas pembantuan merupakan penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelak­sanaan desentralisasi. APBD, Perubahan APBD, dan Perhitungan APBD ditetapkan dengan peraturan daerah dan merupakan dokumen daerah.

2.7. Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi
Ketentuan mengenai penyelesaian maupun pengenaan ganti kerugian negara/daerah diatur dalam Bab IX Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Keuangan Negara, Bab XI Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, serta dalam Bab V Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

2.7.1. Penyelesaian Kerugian Daerah
Penyelesaian kerugian daerah adalah sebagai berikut :
a.    Setiap kerugian negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang harus segera diselesaikan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
b.    Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang karena perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya secara langsung merugikan negara, wajib menggantikan kerugian tersebut.
c.    Setiap pimpinan kementrian negara/lembaga/kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dapat segera melakukan tuntutan ganti rugi setelah mengetahui bahwa dalam kementrian negara/lembaga/SKPD yang bersangkutan terjadi kerugian akibat perbuatan dari pihak manapun.
d.    Setiap kerugian daerah wajib dilaporkan oleh atasan langsung atau oleh kepala SKPD kepada gubernur/bupati/walikota dan diberitahukan kepada BPK selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah kerugian daerah itu diketahui.
e.    Segera setelah kerugian daerah diketahui, kepada bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang nyatanyata melanggar hukum dapat segera dimintakan surat pernyataan kesanggupan dan/atau pengakuan bahwa kerugian tersebut menjadi tanggung jawabnya dan bersedia mengganti kerugian daerah dimaksud.
f.     Jika surat keterangan tanggung jawab mutlak (SKTJM) tidak mungkin diperoleh atau tidak dapat menjamin pengembalian kerugian daerah, maka gubernur/bupati/walikota yang bersangkutan segera mengeluarkan surat keputusan pembebanan penggantian kerugian sementara kepada yang bersangkutan.
g.    Pengenaan ganti kerugian daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh BPK. Apabila dalam pemeriksaan kerugian daerah ditemukan unsur pidana, maka BPK menindaklanjutinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
h.    Pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota. Tatacara tuntutan ganti kerugian negara/daerah diatur dengan peraturan pemerintah.
i.      Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang telah ditetapkan untuk mengganti kerugian negara/daerah  dapat dikenakan sanksi administratif dan/atau sanksi pidana.
j.      Putusan pidana tidak membebaskan dari tuntutan ganti rugi.

2.7.2. Pengenaan Ganti Kerugian Negara/Daerah
Tatacara tuntutan ganti kerugian negara/daerah maupun pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain diatur dengan peraturan pemerintah yang merupakan petunjuk pelaksanaan ketiga paket undang-undang di atas. Ketentuan tersebut diharapkan dapat digunakan oleh pihakpihak yang terkait dalam menangani dan menyelesaikan kerugian negara/daerah yang semakin hari semakin bertambah besar, sehingga dapat diantisipasi terjadinya kerugian daerah, dicegah  penyelesaian kerugian daerah yang berlarut-larut, serta dipercepat proses pemulihan kerugian daerah maupun diperkecil terjadinya kerugian daerah.


2.8.  Tata Cara Penyelesaian Kerugian Keuangan Daerah
Penyelesaian kerugian keuangan daerah melalui upaya damai dilakukan apabila penggantian kerugian keuangan daerah dilakukan secara tunai sekaligus dan angsuran dalam jangka waktu selambatlambatnya 2 (dua) tahun dengan menandatangani Surat Keterangan Tanggung jawab Mutlak (SKTJM).
Penyelesaian kerugian keuangan daerah melalui proses Tuntutan Perbendaharaan dilakukan apabila upaya damai yang dilakukan secara tunai sekaligus atau angsuran tidak berhasil. Proses penuntutannya merupakan kewenangan kepala daerah melalui Majelis Pertimbangan Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi Keuangan dan Barang Daerah (Majelis Pertimbangan). Apabila pembebanan perbendaharaan telah diterbitkan, kepala daerah melakukan eksekusi keputusan dimaksud dan membantu proses pelaksanaan penyelesaiannya.
Penyelesaian kerugian keuangan daerah melalui proses Tuntutan Ganti Rugi dilakukan apabila upaya damai yang dilakukan secara tunai sekaligus atau angsuran tidak berhasil.


BAB III
KESIMPULAN

Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang, termasuk segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut. Pengelolaan Keuangan Daerah kemudian adalah seluruh kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah.
Pengelolaan Administrasi Keuangan daerah merupakan salah satu perhatian utama para pengambil keputusan di pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Sejalan dengan hal tersebut, berbagai perundang-undangan dan produk hukum telah ditetapkan dan mengalami perbaikan atau penyempurnaan untuk menciptakan sistem pengelolaan anggaran yang mampu memenuhi berbagai tuntutan dan kebutuhan masyarakat, yaitu terbentuknya semangat desentralisasi, demokratisasi, transparansi, dan akuntabilitas dalam proses penyelenggaraan pemerintahan pada umumnya dan proses pengelolaan keuangan daerah.
Secara garis besar, pengelolaan keuangan daerah dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu manajemen penerimaan daerah dan manajemen pengeluaran daerah. Kedua komponen tersebut akan sangat menentukan kedudukan suatu pemerintah daerah dalam rangka melaksanakan otonomi daerah.



REFERENSI

A.   Buku
1.    Ahmad Yani, S.H., M.M., Ak., Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, Divisi Buku Perguruan Tinggi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cetakan kedua, April, 2004.
2.    Anwar Sulaiman H., Drs., Manajemen Aset Daerah, STIA-LAN, 2000
3.    Arifin P. Soeria Atmadja, Dr., Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Negara, PT Gramedia, Jakarta, 1986.
4.    Badan Pemeriksa Keuangan, Petunjuk Pelaksanaan Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi, 1976.
5.    BPKP, Pedoman Penanganan Penggantian Kerugian Negara, 1993.
6.    Darise, Nurlan, Pengelolaan Keuangan Daerah, Jakarta, Penerbit PT Indeks, 2006.
7.    __________, Pengelolaan Keuangan Pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), Jakarta, Penerbit PT Indeks, 2007.
8.    Devas, Nick, et al., Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia, Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia, 1989.
9.    Dian Puji N. Simatupang, S.H., M.H., Determinasi Kebijakan Anggaran Negara Indonesia, Studi Yuridis, Papas Sinar Sinanti, Jakarta 2005.
10. Gade, Muhammad. 1998. Akuntansi Pemerintahan. Edisi Revisi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
11. Goedhart C., Dr., Garis-Garis Besar Ilmu Keuangan Negara, Terjemahan oleh Ratmoko, S.H., Penerbit Jembatan, Jakarta, 1981.
12. Hadi, M., Administrasi Keuangan RI, Jakarta, 1981.
13. Halim, Abdul (editor), Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta, UPP AMP YKPN, 2001.
14. Halim, Abdul, Akuntansi Sektor Publik, Akuntansi Keuangan Daerah, Jakarta, Penerbit Salemba Empat, 2002.
15. Kansil CST, Prof. Drs., S.H.dan Kansil Christine S.T., S.H., M.H. 2001. Kitab Undang-Undang Otonomi Daerah 1999 – 2001; Kitab 2. Jakarta: PT Pradnya Paramita.
16. Mardiasmo, Prof., Dr., MBA., Ak., Akuntansi Sektor Publik, Penerbit ANDI Yogyakarta, 2004.
17. Modul Sistem Administrasi Keuangan Daerah II , Edisi Keempat, 2004.
18. Modul-Modul Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
19. Pendapatan Nasional. Edisi ke-5. Yogyakarta: Penerbit Liberty.
20. Rasul Sjahrudin, Dr., SH., Pengintegrasian Sistem Akuntabilitas Kinerja dan Anggaran Dalam Perspektif UU No. 17 Tahun 2003, PNRI, Jakarta 2003.
21. Sugijanto, Drs., Ak., dkk., Akuntansi Pemerintahan dan Organisasi Non Laba, Pusat Pengembagan Akuntansi FE-UI, Jakarta, 1995.

B.   Perundang-Undangan
1.    Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
2.    Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1997 tentang Tuntutan Ganti Rugi dan Tuntutan Perbendaharaan Keuangan dan Barang Daerah.
3.    Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah.
4.    Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
5.    Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah.
6.    Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan dan Pertanggung Jawaban Keuangan Daerah.
7.    Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah.
8.    Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah.
9.    Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah.
10. Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara.
11. Undang-Undang No. 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak.
12. Undang-Undang No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
13. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
14. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

C.   Internet
1.    www.pusdiklatwas.bpkp.go.id
3.    www.docstoc.com
4.    www.radioprssni.com